Prof. Enny Simpulkan: Iwakum Sebagai Pemohon Menilai Wartawan Belum Punya Perlindungan Kuat Saat Bekerja
Iwakum bilang wartawan belum terlindungi. PWI dan AJI jawab, masalahnya bukan di pasal, tapi di pelaksanaan UU Persnya saat di lapangan.
Mahkamah Konstitusi (MK) kali ini mendengarkan keterangan dari beberapa pihak, termasuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Tapi, setelah mendengar semua keterangan, Hakim Konstitusi Prof. Enny Nurbaningsih malah tampak kebingungan. Soalnya, pendapat dari tiga organisasi jurnalis itu ternyata beda-beda arah.
“Terus terang saja, ini saya agak bingung ini tadi. Ini tiga organisasi kok beda-beda, gitu ya,” kata Prof. Enny dalam sidang, pada Selasa (21/10/2025).
Dari penjelasan yang masuk, Prof. Enny menyimpulkan: Iwakum sebagai pemohon menilai wartawan belum punya perlindungan yang kuat saat bekerja.
Karena itu, mereka minta MK memberi tafsir tambahan terhadap pasal 8 UU Pers.
Sementara PWI dan AJI sama-sama menilai, masalahnya bukan di isi pasal, tapi di implementasi di lapangan. Mahkamah pun meminta data tambahan dari semua pihak.
PWI: Pasalnya Sudah Oke, Pelaksanaannya yang Belum
Ketua Umum PWI Pusat Akhmad Munir mengutip langsung Pasal 8 UU Pers yang berbunyi:
“Dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum.”
Menurutnya, ini sudah jadi payung hukum penting agar wartawan bisa bekerja tanpa rasa takut atau tekanan. Tapi masalahnya, aturan bagus itu belum berjalan maksimal.
“Yang Mulia, sebagai organisasi profesi, PWI melihat bahwa persoalan utama bukan terletak pada isi pasalnya, melainkan pada implementasi dan koordinasi antar lembaga yang belum berjalan konsisten. Di lapangan, masih ada kasus wartawan yang dikriminalisasi atau mengalami kekerasan saat menjalankan tugas jurnalistik,” ujar Akhmad.
Ia mencontohkan beberapa kasus:
- Nurhadi, jurnalis di Surabaya yang disekap dan dianiaya saat meliput kasus korupsi tahun 2021.
- Demas Laira di Sulawesi Barat, tewas setelah menulis berita soal dugaan korupsi.
- Dan di tahun 2023, jurnalis Banyuwangi dijerat kasus pencemaran nama baik, padahal Dewan Pers sudah menyatakan beritanya termasuk produk jurnalistik.
Ia juga menekankan pentingnya koordinasi yang kuat antara Dewan Pers, aparat penegak hukum, dan organisasi wartawan, supaya tidak terjadi tumpang tindih atau salah tafsir saat menangani laporan terhadap jurnalis.
Bagi PWI, Pasal 8 adalah bagian dari semangat konstitusi, sejalan dengan Pasal 28F UUD 1945 tentang kebebasan memperoleh dan menyebarkan informasi.
“Kemerdekaan pers tidak akan berarti tanpa keselamatan wartawan, dan perlindungan wartawan tidak akan kuat tanpa komitmen negara,” tutup Akhmad.
AJI: Permohonan Iwakum Kabur dan Tak Jelas
Sementara itu, Sekjen AJI Bayu Wardhana punya pandangan berbeda. Menurutnya, isi permohonan yang diajukan Iwakum justru kabur.
Dalam permohonan itu, Iwakum meminta MK menyatakan Pasal 8 UU Pers bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945.
Tapi di bagian petitum (permintaan resmi ke MK), mereka malah menulis dua versi alternatif yang sama-sama tidak jelas.
Isi petitum itu antara lain:
- Tindakan kepolisian dan gugatan perdata tidak bisa dilakukan terhadap wartawan selama mereka bekerja sesuai kode etik pers.
- Atau, wartawan hanya bisa dipanggil, diperiksa, digeledah, ditangkap, atau ditahan setelah ada izin dari Dewan Pers.
Menurut Bayu, dua versi itu bisa bikin bingung dan berdampak besar.
“Apabila Mahkamah mengabulkan salah satu petitum dari dua alternatif tersebut, akan berdampak luas kepada masyarakat. Yaitu tidak memberikan kepastian hukum mengenai standar petitum yang dibenarkan menurut hukum,” jelasnya.
Ia mengingatkan adanya Peraturan MK No. 2 Tahun 2021 yang sudah memberi standar soal bagaimana seharusnya menyusun petitum dalam pengujian undang-undang. Karena itu,
“Pihak Terkait memohon kepada Mahkamah Konstitusi berkenan memutus dan menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujarnya.
Bayu juga menjelaskan bahwa Pasal 8 UU Pers sebenarnya sudah jadi jaminan agar wartawan mendapat perlindungan hukum saat menjalankan profesinya — mulai dari mencari, mengolah, hingga menyebarkan informasi. Jadi, aturan ini tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Masalahnya, lagi-lagi bukan di pasal, tapi di penerapannya.
“Jurnalis dalam menjalankan profesinya melalui beberapa tahapan — dari mengumpulkan informasi, melakukan wawancara, mengambil gambar, menelusuri dokumen, sampai menulis atau mengedit video, hingga mempublikasikan berita. Perlindungan hukum seharusnya dilaksanakan sejak mengumpulkan informasi hingga publikasi berita,” kata Bayu.
Dan, ia menambahkan:
“Tidak hanya sampai di sini, perlindungan hukum juga diberikan setelah berita sudah dipublikasikan.”. [■]

Posting Komentar