iklan banner gratis
iklan header banner iklan header iklan header banner
Pasang Iklan Running Text Anda di sini atau bisa juga sebagai iklan headliner di atas (600x100)px

Doktor Tunanetra Pertama Kembali ke Panggung Politik

Ahmad Basri NS (77) Dari Gelap Mata Menuju Terang Hati, Doktor Tunanetra Ini Siap Bela Disabilitas di Senayan


Tongkat, Tekad, dan Politik: Perjalanan Nurani Ahmad Basri Sikumbang, Cahaya dari Bandung dan Mimpi Inklusif PAN. Ketika Gelar Tak Sekadar Nama: Doktor Basri dan Perjuangan Kaum Rentan, Politik yang Melihat Tanpa Mata.

 — CIMAHI, BANDUNG | Pada usia 77 tahun, semangat itu belum padam. Dr. H. Ahmad Basri Nur Sikumbang, B.A., Drs., M.Pd., Ph.D — sosok yang dikenal sebagai doktor tunanetra pertama di Indonesia — kembali menapaki jalur politik.

Setelah lama bergelut di dunia pendidikan dan advokasi disabilitas, kini ia menyatakan siap menjadi bakal calon legislatif DPR RI dari Partai Amanat Nasional (PAN) untuk daerah pemilihan Bandung–Cimahi pada Pemilu 2029.


Dalam surat terbuka yang ia edarkan ke masyarakat dan jurnalis, Ahmad Basri menulis dengan nada penuh keyakinan, “Saya tidak ingin menua tanpa makna. Saya ingin mengakhiri hidup saya dalam kontribusi nyata bagi kemanusiaan.

Kalimat itu terdengar seperti sumpah seorang pejuang yang matanya gelap, namun hatinya terang benderang.


Dari Kampus ke Parlemen
Basri bukan sosok baru di PAN. Ia pernah maju lewat partai yang sama pada Pemilu 2009, namun gagal melangkah ke Senayan.

Waktu itu sosialisasi sempit, dan dana terbatas,” ujarnya dalam keterangan yang dikirimkan ke Sekjen DPP PAN, Yoga Viva Mauladi.

Yoga pun membalas dengan penuh hormat, menegaskan bahwa Kartu Tanda Anggota PAN miliknya masih aktif dan DPP PAN “Akan senang sekali jika Bapak nanti sebagai caleg lagi.


Meski gagal di kontestasi sebelumnya, Basri tak undur diri dari dunia sosial. Ia tetap aktif dalam advokasi pendidikan inklusif dan memperjuangkan hak-hak kaum disabilitas.

Kini, tekadnya kembali menyala: memperjuangkan kelompok rentan — lansia, fakir miskin, anak terlantar, dan penyandang disabilitas — agar “dimanusiakan, dimartabatkan, dan disejahterakan.”

Dari Bandung untuk Kaum Rentan
Visi dan misinya sederhana namun sarat makna. Ia ingin masyarakat rentan memperoleh sandang, pangan, papan, serta kesempatan setara dalam pendidikan, pekerjaan, dan pengembangan diri. Dalam suratnya, ia menegaskan:

Percayakanlah harapan Anda sepenuhnya kepada saya! Insya Allah, jika terpilih, saya akan memperjuangkannya dengan sepenuh hati.


Ahmad Basri bahkan membuka komunikasi publik 24 jam melalui WhatsApp, email, dan media sosialnya. Transparansi yang jarang dilakukan politisi, apalagi bagi seseorang yang sudah melewati tiga gelar akademik dan satu gelar kehormatan hidup: keikhlasan.


Bukan Kampanye, tapi Seruan Nurani
Langkah Ahmad Basri bukan sekadar upaya politik, tapi bentuk perlawanan terhadap ketidakpedulian sosial.

Ia menyerukan agar partai membangun posko pengaduan masyarakat di setiap tingkatan PAN, untuk menampung keluhan warga langsung.


Gagasannya sederhana, tapi berakar kuat pada empati. “Dari mereka yang paling lemah, lahir kekuatan moral untuk membenahi bangsa,” ujarnya dalam video di kanal YouTube pribadinya, Habanus Ahmad.

Catatan Redaksi
Ahmad Basri mungkin tidak lagi bisa melihat dengan mata, tapi pandangannya terhadap kemanusiaan menembus batas.

Ketika banyak politisi mengejar kekuasaan demi kuasa, ia menapak dengan tongkat dan tekad: mencari cahaya bagi sesama.


Seperti kata pepatah Minang yang ia sukai, “Biar mata tertutup kabut, asal hati tak buta oleh ambisi.”.

Sebagai referensi pembanding, berikut hasil penelusuran JabarOL tentang para penyandang tunanetra yang berhasil meraih gelar doktoral di Indonesia.

Beberapa doktor tunanetra di Indonesia di antaranya adalah Saharudin Daming (doktor hukum pertama tunanetra di Indonesia), Didi Tarsidi (doktor Pendidikan), Akhmad Soleh (doktor dari UIN Sunan Kalijaga), Anas (doktor cum laude dari UIN Malang), dan Dr. Hj. Murtini (aktivis disabilitas).

Selain itu, Sri Melati adalah seorang dokter yang menjadi tunanetra akibat penyakit TBC dan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke London.

Saharudin Daming:
Merupakan doktor tunanetra pertama di Indonesia yang meraih gelar doktor di bidang hukum.

Didi Tarsidi:
Meraih gelar doktor di bidang Pendidikan (Bimbingan Konseling) di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pada tahun 2008.

Akhmad Soleh:
Meraih gelar S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan menjadi doktor kelima tunanetra di Indonesia.

Anas:
Meraih gelar doktor cum laude dari UIN Malang, dengan disertasi tentang Model Pendidikan Fiqih Berwawasan Toleransi.

Dr. Hj. Murtini:
Seorang doktor dan aktivis disabilitas tunanetra yang juga dikenal dengan kegiatan keliling Indonesia untuk memecahkan rekor MURI.

Sri Melati:
Seorang dokter yang menjadi tunanetra setelah menderita penyakit TBC. Ia tetap melanjutkan mimpinya dengan mendapatkan beasiswa untuk belajar di London.
[■]

Reporter: NMR Redaksi - Editor: DikRizal/JabarOL
Iklan Paralax
iklan banner Kemitraan Waralaba Pers

Post a Comment

أحدث أقدم
banner iklan JabarOL square