Ritual Lama Bernama Korupsi Dana Desa, dari Bekasi hingga Desa-desa Lain Kerap Jadi Bancakan Pejabat Desa
Kasus Rp2,6 miliar di Sumber Jaya menambah daftar panjang korupsi dana desa. Aktivis Neno Salsabillah menilai, sistem demokrasi lokal gagal menelurkan pemimpin yang amanah.

Dana itu seharusnya dipakai untuk membangun jalan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Namun, jejaknya justru berhenti di rekening pribadi dan kantong-kantong gelap.
“Ini bukan kasus tunggal, melainkan ritual yang terus berulang,” kata Neno Salsabillah, aktivis muslimah sekaligus penulis opini di media JabarOL, saat ditemui di Bekasi pekan lalu.
Demokrasi dan Biaya Politik
Menurut Neno, skandal ini memperlihatkan rapuhnya sistem demokrasi di tingkat lokal. Ia menyoroti ongkos tinggi dalam pemilihan kepala desa (pilkades).
“Biaya politik yang mahal menciptakan utang. Setelah menjabat, mereka harus membayar kembali, dan jalan pintasnya adalah dana desa,” ujarnya.
Hasil investigasi lapangan juga menunjukkan pola serupa. Di sejumlah desa lain di Bekasi, praktik mark up anggaran proyek, pemotongan bantuan sosial, hingga laporan fiktif menjadi modus lama yang sulit diberantas.
Vonis ringan dari pengadilan membuat para pelaku tak jera.
Pemimpin dan Tanggung Jawab
Neno menyebut masalah utamanya ada pada mentalitas pemimpin.
“Dalam sistem demokrasi, kepala desa sering merasa bertanggung jawab pada sponsor politik, bukan pada rakyat,” katanya.
Ia lalu mengutip sabda Nabi Muhammad SAW: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.”
Menurutnya, pesan ini yang hilang dalam praktik politik di desa.
Neno menambahkan kisah Khalifah Umar bin Khattab yang memanggul sendiri gandum untuk rakyat miskin.
“Itu contoh pemimpin yang sadar akan amanah. Bandingkan dengan hari ini, pemimpin malah berlomba-lomba menambah harta pribadi,” ujarnya.
Solusi ala Islam
Dalam pandangan Neno, sistem Islam menawarkan solusi yang tegas: pemimpin dipilih berdasarkan amanah, bukan uang.
Biaya politik nyaris tidak ada, karena seleksi ditentukan oleh kualitas ketakwaan dan integritas.
“Kalau Islam diterapkan secara menyeluruh, korupsi tidak punya ruang. Sanksinya jelas, hukuman berat membuat pelaku jera,” ujarnya.
Pandangan ini berbeda dengan pendekatan pemerintah yang menekankan pengawasan administratif dan digitalisasi keuangan desa.
Menurut Neno, upaya itu tak menyentuh akar masalah: sistem politik yang melahirkan pemimpin transaksional.
Uang Rakyat yang Menguap
Kasus Sumber Jaya kini menjadi atensi publik Bekasi. Namun, para pegiat antikorupsi pesimistis kasus ini akan memberi efek jera.
“Kita sudah lihat berulang kali, vonisnya ringan, pelakunya bisa balik lagi,” kata seorang aktivis lokal.
Neno menutup wawancara dengan nada getir. “Selama sistem yang melahirkan pemimpin tidak berubah, korupsi dana desa hanya akan jadi berita rutin. Hari ini Rp2,6 miliar, besok bisa lebih besar lagi.” [■]


Posting Komentar