iklan banner gratis
iklan header banner iklan header
Pasang Iklan Running Text Anda di sini atau bisa juga sebagai iklan headliner di atas (600x100)px

Opini Ade Muksin, S.H. Ketua PWI Bekasi Raya Tentang SPMB di Bekasi

Ade Muksin: Setiap Anak Yang Tidak Bisa Sekolah Karena Sistem, Itu Bukan Kegagalan Individu — Itu Aib Negara

jabar-online.com, Minggu 6 Juli 2025, 05:51 WIB, TimJabarOL

 BEKASI RAYA — Bertemu dengan salah satu orang tua siswa yang masih duduk termangu di pelataran SMP Negeri 1, Ciketing Udik, Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi pagi itu sepekan lalu di akhir bulan Juni 2025.


Salah seorang ibu tampak duduk di samping putranya dengan air muka menahan rasa kecewa yang dalam, dan dirinya sempat bertanya kepada tim JabarOL dengan penuh harap, apakah anaknya masih bisa punya kesempatan masuk SMP Negeri?


Di tangannya, sebuah map berisi salinan dokumen pendaftaran online yang gagal lolos seleksi. Sepertinya dia berusaha menahan tangis yang tampak jelas di wajahnya. Bukan karena nilai buruk, bukan karena malas belajar, tapi karena sistem tidak memihak.

Sang anak pun mendapatkan nilai kelulusan yang lumayan, meski masih di bawah sekolah Negeri favorit pilihan ibunya. 

“Setiap tahun kita lihat adegan ini. Anak-anak menangis, orang tua kecewa, tapi sistem tetap saja beku,” ujar Ade Muksin, S.H., Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bekasi Raya, kepada JabarOL,

Pekan lalu saat ditemui di ruang kerjanya di gedung biru PWI Bekasi Raya, Bekasi Selatan dan sempat membahas banyak hal, salah satunya masalah SPMB di wilayah Bekasi. 

Sebagai figur publik yang kerap turun langsung menampung aspirasi masyarakat, Ade Muksin berbicara dengan nada prihatin. 

“Saya banyak menerima keluhan dari warga Bekasi Raya. Banyak dari mereka merasa seperti kehilangan hak dasar anaknya—yaitu hak atas pendidikan—hanya karena zonasi dan sistem online yang rigid.” ungkap Ade Muksin. 

Sistem yang Gagal Menyesuaikan Realitas
Ade tidak serta-merta menolak sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) atau Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) yang diterapkan pemerintah daerah, khususnya kabupaten dan kota Bekasi.

Ia menyadari semangat awalnya adalah pemerataan. Tapi menurutnya, keadilan tidak berhenti pada persebaran jumlah siswa—melainkan juga bagaimana negara menjamin semua anak bisa bersekolah.

“Saya tidak anti sistem. Tapi pemerataan tanpa rasa keadilan itu percuma,” katanya sambil menunjukkan beberapa tangkapan layar pengaduan orang tua yang masuk ke akun media sosial juga akun Whatsappnya.

Ia mencontohkan: anak berprestasi akademik bisa tergeser karena rumahnya selisih beberapa meter dari batas zonasi.

Di sisi lain, anak dari keluarga tidak mampu, yang seharusnya masuk melalui jalur afirmasi, justru kalah bersaing karena kurangnya transparansi kuota.


“Yang Gagal Bukan Anak Itu—Tapi Sistemnya”
Nada suara Ade meninggi saat membahas prinsip konstitusi. Ia mengutip Pasal 31 UUD 1945 tentang hak atas pendidikan. “Konstitusi kita sudah sangat terang. Pendidikan adalah hak, bukan hadiah,” tegasnya.

Ade menyebut bahwa UU Perlindungan Anak juga mewajibkan negara menjamin pendidikan dasar bagi setiap anak tanpa diskriminasi.

Ia tak segan menyebut bahwa jika ada anak yang tidak diterima di sekolah negeri manapun dan tidak ada solusi konkret, maka negara telah lalai.

“Yang gagal bukan anak itu. Yang gagal adalah sistemnya,” katanya, menekankan tiap kata dengan gestur tangan yang tenang namun tegas.

Solusi Bukan Sekadar Statistik
Apa solusinya? Ade mengusulkan tindakan darurat dari pemerintah daerah.

Penambahan kuota darurat di sekolah negeri, pemberian subsidi untuk sekolah swasta, hingga membuka jalur afirmatif tambahan bagi keluarga rentan.

“Jangan biarkan anak-anak kita jadi korban birokrasi. Masa depan mereka tidak boleh terganjal angka dan radius kilometer,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan pentingnya empati dalam menyusun kebijakan pendidikan. “Pendidikan bukan soal efisiensi semata. Ini soal keadilan sosial.”

Mengawal Suara-Suara Kecil
Sebagai Ketua PWI Bekasi Raya, Ade Muksin juga menyentil peran media. Ia mengajak jurnalis untuk tidak hanya menulis berita seremoni, tapi aktif mengawal isu pendidikan, menampung suara-suara warga, dan membongkar kebijakan yang menyimpang dari nilai keadilan.

“Marwah pers adalah keberpihakan kepada publik—terutama yang tak punya suara,” katanya.

Sebelum wawancara berakhir, ia menyodorkan kutipan yang menurutnya menjadi pengingat moral: "Setiap anak yang tidak bisa sekolah karena sistem, itu bukan kegagalan individu—itu aib negara."

Dan pagi itu, di banyak pelataran sekolah di Bekasi, aib itu masih terasa.

Catatan Redaksi:
Tulisan ini merupakan bagian dari liputan khusus JabarOL tentang pelaksanaan PPDB/SPMB 2025 di wilayah Bekasi Raya.

Kami membuka ruang untuk suara publik dan tanggapan dari otoritas pendidikan daerah sebagai bagian dari komitmen jurnalisme advokatif yang faktual dan berpihak. [■] 

Reporter: Tim JabarOL - Redaksi - Editor: DikRizal

Iklan Paralax
iklan banner Kemitraan Waralaba Pers

Post a Comment

أحدث أقدم
banner iklan JabarOL square