iklan banner gratis
iklan header banner iklan header iklan header banner
Pasang Iklan Running Text Anda di sini atau bisa juga sebagai iklan headliner di atas (600x100)px

Aksi Demo Warga di Depan Gerbang Summarecon Sukaraja, Ada Apa?

Sengketa Lahan Summarecon Sukaraja: Warga, Massa Misterius, dan Jejak Gugatan yang Belum Usai


Ketua MUI Kabupaten Bogor, KH. Jajat dan anggota DPRD Komisi I, A.Y. Shogir yang dihubungi JabarOL via WhatsApp menyatakan bahwa massa yang turun pada 25 September bukan berasal dari warga setempat — wajah-wajah mereka “asing”. Pernyataan ini menimbulkan dugaan mobilisasi oleh pihak luar atau “massa bayaran”?

 — BOGOR KABUPATENPada Kamis, 25 September 2025 lalu, jalan menuju gerbang kawasan Summarecon Sukaraja mendadak ramai. Puluhan orang mengangkat spanduk, berorasi, menuntut pengembang melunasi pembayaran lahan yang menurut mereka masih tertahan.

Aparat kepolisian tampak berjaga, berusaha menjaga ketertiban di lokasi. Video dan unggahan aksi itu menyebar cepat di media sosial, memicu pertanyaan: ini demonstrasi warga yang selama ini menunggu haknya, atau sebuah mobilisasi yang menunggangi sengketa lama?

Kronologi singkat konflik (garis besar)
  • Awal persengketaan tercatat sejak beberapa tahun terakhir ketika proyek besar Summarecon masuk kawasan Sukaraja—Desa Nagrak menjadi salah satu titik pembebasan lahan. Sejak 2022 sampai 2025, beberapa kelompok warga menuduh anak perusahaan pengembang melakukan akuisisi tanah yang bermasalah (tanpa proses jual beli yang jelas atau ada klaim penggarapan). Laporan-laporan lokal dan pengaduan ke aparat muncul berkali-kali selama periode ini.
  • Pada 2024–2025 muncul gugatan perdata dan upaya hukum oleh beberapa pihak yang mengaku pemilik sah (ahli waris), termasuk kasus yang dilaporkan berkaitan dengan SHM lama yang diklaim masih dimiliki keluarga/ahli waris. Beberapa putusan dan registrasi perkara tercatat di pengadilan negeri setempat dan menjadi dasar protes warga.
  • Puncak protes publik yang terekam: aksi massa 25 September 2025 yang menuntut realisasi pembayaran lahan. Di satu sisi ada rekaman orasi warga yang menegaskan belum menerima pembayaran, di sisi lain tokoh lokal menyatakan massa itu diduga bukan warga sekitar, menimbulkan klaim berlawanan tentang siapa yang sebenarnya berdemonstrasi.

Peta luas tanah dan bidang yang disengketakan
Berdasarkan pemberitaan lokal dan pengumuman kuasa hukum pihak penggugat, ada beberapa angka yang berulang disebutkan sebagai bagian objek sengketa:
  • Area besar yang disebut bermasalah: laporan-laporan media lokal menyebut angka puluhan hektar—mis. total sekitar 64,99 hektar yang disebut dimiliki “belasan warga” lalu dikuasai pihak pengembang.
  • Bidang spesifik yang digugat: salah satu bidang yang berulang disebut dalam berkas gugatan adalah SHM No. 84/Nagrak luas 72.880 m² (±7,288 hektar) yang diklaim ahli waris Niko (N.A.F.) Mamesah. Dalam pemberitaan tentang proses persidangan, angka luas dan nomor SHM ini muncul berkali-kali sebagai objek yang akan dibacakan putusannya.

Catatan: angka-angka di atas berasal dari laporan media dan kutipan kuasa hukum yang dipublikasikan; peta resmi pengukuran (hasil ukur BPN) perlu diakses langsung dari BPN/Kantor Pertanahan setempat untuk konfirmasi spasial yang final.

Siapa penggugat / ahli waris yang terlibat?
Dari penelusuran dokumen dan pemberitaan:
  • Nama yang konsisten muncul sebagai penggugat/ahli waris adalah Niko (N.A.F.) Mamesah (atau variasi penulisan nama terkait ahli waris keluarga bersangkutan). Kuasa hukum ahli waris tersebut aktif mengajukan gugatan perdata melawan Summarecon dan/atau entitas anak perusahaannya, menuntut pengakuan hak atas SHM lama serta ganti rugi atau pembatalan tindakan peralihan hak.
  • Selain itu, beberapa kelompok warga lain (disebut “belasan warga” dalam pemberitaan) dan organisasi pendamping seperti LBH Lingkar Hukum disebut turun tangan mendampingi klaim warga atas lahan yang dinyatakan belum pernah dijual. Kepala desa setempat juga dikutip menyatakan bahwa ada lahan yang tidak pernah diperdagangkan secara sah.

Rangkaian perkara di pengadilan (detail yang bisa diverifikasi)
Beberapa artikel lokal menyebut nomor perkara dan langkah hukum yang sedang berlangsung:
  • Terdapat rujukan pada Perkara perdata yang terdaftar (mis. perkara dengan nomor semacam 442/Pdt.G/2024/PN.Cbi disebut dalam tuntutan publik oleh warga) yang menjadi salah satu dasar mereka meminta pemerintah daerah menahan proses perizinan sampai sengketa selesai. Jika benar tercatat, nomor perkara ini menandakan proses registrasi gugatan perdata di PN Cibinong pada 2024.
  • Dalam beberapa pemberitaan lain muncul pula rencana pembacaan putusan/perkara terhadap SHM No. 84/Nagrak — kuasa hukum ahli waris menyatakan akan melakukan upaya hukum lanjutan (banding/kasasi) jika putusan tidak berpihak pada penggugat. Itu menandakan sengketa belum final dan masih berpotensi berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi.

Catatan verifikasiuntuk kepastian hukum (nomor perkara, amar putusan, tanggal sidang, dan salinan putusan), dokumen resmi PN Cibinong / Pengadilan Negeri terkait harus diakses.


Pemberitaan media memberikan petunjuk kuat, tetapi salinan putusan pengadilan adalah bukti paling otentik.

Konflik klaim: warga asli vs. dugaan massa luar
Aksi 25 September memunculkan dua narasi bertolak belakang:
  • Versi warga/kuasa hukum: ada warga dan ahli waris yang belum dibayar atau merasa sertifikatnya dicaplok tanpa transaksi sah—mereka menuntut pembayaran dan pengakuan hak. LBH dan kuasa hukum mengklaim ada bukti administratif yang perlu ditinjau ulang.
  • Versi tokoh lokal dan sejumlah pejabat: tokoh setempat, Ketua MUI Kabupaten Bogor, KH. Jajat dan anggota DPRD Komisi I, A.Y. Shogir yang dihubungi JabarOL via WhatsApp menyatakan bahwa massa yang turun pada 25 September bukan berasal dari warga setempat — wajah-wajah mereka “asing”. Pernyataan ini menimbulkan dugaan mobilisasi oleh pihak luar atau “massa bayaran”.

Kebuntuan naratif ini memperlihatkan masalah transparansi: tanpa akses terbuka ke daftar pembayaran ganti rugi, akta jual beli, berkas pengalihan hak, dan peta ukur BPN, publik sulit membedakan mana klaim yang sahih.

Diamnya pengembang dan peran aparat
Hingga penulisan ini, pihak Summarecon Bogor belum mengeluarkan pernyataan resmi yang menjelaskan status pembayaran per bidang atau menanggapi tudingan adanya “sertifikat ganda” atau lahan yang belum dilepaskan secara hukum.

Sikap bungkam perusahaan semakin membiakkan spekulasi pada kedua belah pihak.

Sementara itu, aparat kepolisian memilih fokus pada pengamanan aksi, bukan memediasi substansi sengketa.

Mengapa kasus ini penting — dan apa yang perlu dituntut dari semua pihak
Kasus ini menampilkan persoalan berulang di banyak proyek pembangunan: ketidakjelasan proses pembebasan lahan, lemahnya dokumentasi transaksi yang dapat diakses publik, dan praktik mobilisasi massa yang dapat mengaburkan siapa korban sesungguhnya.

Untuk menuntaskan kasus ini secara jujur dan akuntabel, langkah-langkah berikut perlu ditempuh:
  1. Transparansi dokumen — Pengembang (Summarecon/entitas anak) mesti membuka semua dokumen pembebasan lahan terkait Desa Nagrak: akta jual beli/serah terima, SK pelepasan hak, daftar pembayaran per bidang, dan peta ukuran hasil ukur BPN.
  2. Akses putusan pengadilan — Salinan putusan (jika sudah ada) atau daftar sengketa yang teregistrasi di PN Cibinong harus dipublikasikan sehingga publik dapat melihat dasar hukum klaim masing-masing pihak. (Rujukan dugaan nomor perkara: 442/Pdt.G/2024/PN.Cbi).
  3. Verifikasi BPN — Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor perlu mengeluarkan keterangan resmi terkait status sertifikat (nomor SHM, tanggal terbit, siapa pemilik tercatat) untuk menghapus ambiguitas soal kepemilikan.
  4. Mediasi publik — Pemerintah daerah atau lembaga independen (mis. Ombudsman/komisi agraria) perlu memfasilitasi mediasi yang melibatkan ahli waris, perwakilan pengembang, tokoh desa, dan perwakilan warga yang mengaku dirugikan — dengan hasil mediasi yang dituangkan secara tertulis.

Penutup: Potret konflik yang belum usai
Aksi 25 September hanyalah salah satu episode dari sengketa yang sudah berlarut. Angka-angka luas tanah (dari puluhan hektar sampai bidang 72.880 m² SHM No.84/Nagrak), nama ahli waris yang menuntut (Niko / N.A.F. Mamesah).

Dan rujukan perkara perdata memperlihatkan bahwa konflik ini memiliki basis hukum dan fakta lapangan — namun juga diselimuti klaim-klaim yang saling bertolak belakang.

Tanpa bukti tertulis yang transparan, narasi tentang kebenaran akan terus bersaing: suara warga yang menuntut haknya, dan suara tokoh yang menyebut massa itu asing.

Publik berhak tahu siapa pemilik sebenarnya, berapa luas, dan bagaimana alur pembayaran dilakukan.

Hingga semua pihak membuka dokumen dan proses hukum berjalan terbuka, peristiwa di Summarecon Sukaraja akan tetap menjadi contoh kegagalan tata kelola pembebasan lahan di Indonesia. [■]

Reporter: NMR Redaksi - Editor: DikRizal/JabarOL
Iklan Paralax
iklan banner Kemitraan Waralaba Pers

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama
banner iklan JabarOL square